My Journey to Madiun : Si Penculik Pembawa Berkah

 "Pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup" 
Tapi kalau pengalaman hampir diculik orang gimana ya? Ikutin ceritaku yuk!

               Liburan. Hah, akhirnya aku bisa merasakan kebebasan walau hanya 2 minggu. Yah, meskipun pada akhirnya tetap berhubungan dengan yang namanya "tugas"—entah makhluk jenis apa itu. Nikmati saja liburan kali ini dengan senyum lebar, gak usah terlalu diambil pusing.
                Seperti biasa, aku selalu pulang ke Madiun saat libur lebaran. Bali tak aku kunjungi kali ini, kangen memang, tapi aku lebih memilih berhari raya di tempat nenek dan kakekku di Madiun. Kami, murid Insan Cendekia yang berasal dari Jawa Timur, sepakat untuk mengadakan acara mudik bareng dengan bayaran sebesar 250 ribu. Bus kami melewati jalur atas, jadi Madiun tak termasuk jalur kami. Terpaksa aku turun di Surabaya, lalu mencari bus di terminal Purabaya yang berjurusan ke Madiun.
                Mulanya ku pikir gampang dan tak akan terjadi apa-apa selama aku di Surabaya nanti. Toh aku juga sudah sering kemana-mana sendirian. Semua lancar-lancar saja saat perjalananku dengan teman-teman. Sesampainya di Surabaya, aku tak tahu harus turun di mana. Tiba-tiba bus berhenti dan ketiga temanku turun dari bus. Aku bingung, apakah di tempat ini aku harus turun? Tapi tidak terlihat tanda-tanda adanya terminal di tempat ini. Aku berdiri dari tempat dudukku sambil membawa tas gendongku. Bus sudah mulai berjalan. Aku bertanya pada kakak kelasku, "Kak, kalo turun di Surabaya, turunnya di mana?"
"Lho, yang turun di Surabaya udah turun tadi"
                Aku kaget. Masyaallah, aku ketinggalan. Tempat tadi sudah sangat jauh dilewati oleh bus kami. Akhirnya aku minta diturunkan di suatu tempat yang sama sekali tidak ku ketahui sebelumnya. Supir bus menyarankanku untuk naik angkot bila mau ke Terminal Purabaya. Setelah turun dari bus, aku mulai mencari angkot yang tak kunjung datang. Sesaat kemudian, muncul sebuah angkot lalu segera ku tanya, "Pak, maaf, numpang tanya, kalo ke terminal naik angkot yang mana ya?"
"Oh, adek nyebrang aja, angkotnya arahnya ke sana". Aku pun berterimakasih, lalu segera menyebrang jalan.  Saat itu, aku baru ingat, aku tak membawa uang kecil, hanya ada 100 ribu yang belum ku pecahkan. Kalau aku naik angkot, mustahil ada kembaliannya. Akhirnya aku nekat jalan kaki. Aku tahu berapa jarak yang harus ku tempuh, pasti sangat jauh. Ini bulan Ramadhan, aku sedang berpuasa, pastilah Allah memberiku berkah. Aku yakin itu.
                Punggungku terasa berat, udara panas amat menyengat, tapi sama sekali tak ku rasakan lapar atau dahaga. Subhanallah, aku yakin ini kehendak-Nya. Dalam kebingungan aku bergumam, "Ya Allah, mudahkanlah jalanku, perpendeklah jaraknya, sesungguhnya Engkau Maha Melihat dan Maha Mendengar"
Banyak orang-yang kalau dilihat dari tampangnya—bertampang  jahat—sedang berkeliaran di pinggir jalan.  Aku hanya bisa beristighfar dalam hati dan menundukkan pandanganku. Setelah berjalan agak lama, tak satu pun toko ku temui, padahal niatku ingin mengecilkan uang yang ku bawa. Aku sedikit lesu, berdoa semoga ada orang baik yang mau membantuku.
"Mau kemana dek?" Seorang bapak tua yang sedang duduk di atas motornya—di pinggir jalan, menanyaiku.
"Mau ke terminal, pak" jawabku takut-takut.
"Ayo bareng, aku juga mau pergi kok"
Ku dekati bapak tua itu. Aku pernah mengalami kejadian seperti ini saat aku tersesat dulu. Mungkin saja kejadiannya sama, aku ditolong seorang bapak tua yang baik—yang akhirnya mengantarku ke tempat tujuan.
"Gak papa nih, pak. Ntar saya ngerepotin lagi"
"Gak papa, ayo"
"Bapak memang mau ke mana?"
"Ke sana, satu arah kok, ayo"
Aku menuruti ajakan pak tua itu. Ia memakai jaket dan celana pendek di atas paha. Ku coba untuk berhusnudzon. Aku mengamati arah jalannya. Beberapa bagian ku kenali.
"Adek emang habis dari mana? kok jalan kaki?"
"Oh, saya salah turun dari bus, pak" Aku mengeluarkan logat Jawa ku.
"Mau kemana tho?"
"Ke Madiun pak, ada Mbah di sana"
"Jalan-jalan dulu, yuk, ikut saya"
Ha? Apa? Aku mulai curiga terhadap tingkah pak tua ini.
"Gak usah pak"
"Gak papa, biar tau Surabaya, aku ajak keliling bentar yo"
"Gak pak, gak usah, saya mau pulang aja" ucapku memaksa
"Udah tho, tak ajak"
Haduh, pak tua ini juga "mekso" rupanya.
"Pak, bukannya terminal di sana ya pak?" aku mulai sangat curiga. Terminalnya di sana. Ini jalur yang berbeda.
"Udah tho, diem aja"
Ah, aku harus akting memelas kalau begini caranya.
"Pak, kasian Mbahku di Madiun, aku nelpon gak ada kabar, aku khawatir pak"
"Iya, udah kamu diem aja"
"Pak, Mbahku lho pak, aku khawatir, aku mau pulang aja pak, aku berhenti di sini aja"
"Udah, gak usah cerewet tho"
"Pak, aku berhenti di sini ja pak, gak papa, aku naik angkot aja pak"
"Udah, aku yang anterin, kamu diem aja"
"Tapi pak, aku buru-buru lho, Mbahku ini pak"
"Ya udah, tak anter, posisi dudukmu ini lho"
"Lho kenapa pak?" Aku semakin bingung dan takut. Ya Allah tolong.
"Rapetin lagi, deketin dek"
"Gak usah pak" Lha kan bukan mahram, wajar aku jaga jarak. Ah, ingin sekali aku lompat. Ya, aku harus lompat.
"Ntar kalo udah deket terminal kamu peluk aku ya"
Astaghfirullah. "Lha kenapa pak?"
"Gak papa, ini lho"
Entah apa yang dipikirkan pak tua ini. Aku benar-benar sangat takut.
"Deket sini lho, lihat ni lho, ada yang bisa berdiri"

Aku semakin tak mengerti dengan omongan pak tua ini. Pak tua ini mengoceh sambil terkekeh-kekeh. Sungguh membuatku semakin takut. Aku pun mulai mencari cara untuk meloloskan diri. Di depan sana—tepat di pertigaan jalan, aku melihat sebuah belokan. Ya, mungkin itulah tempat yang tepat untuk meloloskan diri. Tepat saat motor pak tua berhenti sejenak untuk membelok, aku melompat dari motor pak tua. Seketika tubuhku terhempas ke aspal. Dengan tubuh yang masih nyut-nyutan akibat jatuh ke aspal, aku berlari sekuat tenaga. Ku dengar pak tua mengomel tak karuan. Orang-orang di sekitar situ pun menatapku dengan kebingungan. Setelah merasa aman, aku berhenti di depan sebuah warung rokok.
“Maaf bu, kalau terminal di mana ya?” tanyaku pada pemilik warung.
“Oh, adek lurus aja terus sampai nemu tempat yang banyak bus lewat, ada palangnya kok”
Segera setelah berterimakasih pada pemilik warung, aku melanjutkan perjalanan ku. Hari semakin siang dan matahari makin menyengat. Aku berusaha untuk sabar dan tidak mengeluh. Terminal Purabaya akhirnya ku temukan beberapa saat kemudian. Meski tak mendapat tempat yang nyaman dalam bus menuju Madiun, aku lebih memilih berdesak-desakan daripada dibawa pulang si pak tua tadi. Ya, cerita nyasar ku ini berakhir bahagia.
Di akhir ceritaku ini, aku ingin menjelaskan sedikit tentang judul dari posting di atas. Mungkin kalian bertanya-tanya mengapa aku menyebut si pak tua sebagai "Pembawa Berkah". Dengan kejadian ini, bertambah lah pengalaman ku tentang hal nyasar-menyasar, ditambah lagi dengan pengalaman diculiknya. Mungkin jika tak ada pak tua ini, aku tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya diculik orang. tanpanya pula, aku tidak akan punya cerita semenarik ini untuk ku ceritakan pada kalian, kan?
So, ini ceritaku, mana ceritamu?


0 komentar:

Posting Komentar