Surat Untuk Ayah

Dear ayah,
Aku tak mau berbasa-basi, Yah. Karena ayah pun tak pernah mengajariku untuk berbasa-basi. Tapi mungkin lebih baik untuk menanyakan kabar ayah terlebih dahulu. Apakah ayah baik-baik saja?
Mungkin surat ini tidak penting bagi ayah. Tapi bagiku, surat inilah satu-satunya perantara untuk menyatakan perasaanku pada ayah.
Aku tidak bisa bilang bahwa aku mencintai ayah.
Sekian lama aku mencoba untuk membuat ayah bangga dengan prestasi-prestasiku. Ketika aku meraih penghargaan di sekolah, kupikir ayah akan senang dan bangga padaku. Nyatanya, ayah hanya menatapku sejenak tanpa mengucapakan apapun. Sampai sekarang aku berfikir bahwa ayah tak peduli dengan prestasiku. Ketika aku meraih piala dari sebuah perlombaan, orang lain berpikir bahwa ayah akan bangga padaku. Padahal ayah pun tak mengetahui bahwa aku mengikuti lomba itu. Mungkin sebaiknya ayah tak pernah tau. Ketika aku marah karena ayah tak memperhatikanku, ayah malah menghukum bahkan mengusirku. Ketika aku membuat sedikit kesalahan di sekolah, ayah memberiku sebuah pukulan. Ayah bilang aku harus jadi anak yang baik. Bahkan aku tak mengerti sedikit pun tentang anak yang baik di mata ayah. Suatu saat ayah mengirimku ke sekolah yang jauh. Aku tak mengerti kenapa ayah ingin jauh dariku. Ku pikir semuanya akan baik-baik saja. Pernah sesekali ayah menjengukku, mungkin ayah tak tahu betapa bahagianya hatiku saat itu. Tapi hatiku hancur seketika saat ayah mengatakan bahwa ayah ingin bercerai dengan ibu. Meski ayah menjelaskan berkali-kali alasannya, aku tetap tak mengerti sedikit pun mengapa perceraian itu harus terjadi. Ku kira aku kini sedang bermimpi atau ayah sedang ingin bercanda. Nyatanya, sebulan kemudian ayah mengabariku tentang kesuksesan rencana ayah untuk menceraikan ibu. Katika libur panjang telah tiba, aku bersikeras untuk pulang ke rumah ayah. Ku kira ayah juga merindukanku. Nyatanya ayah malah meninggalkanku sendiri di rumah. Aku benar-benar tak mengerti sedikit pun tentang ayah.
Aku juga tak bisa bilang bahwa aku membenci ayah.
Karena sebagian jasadku ini adalah jasad ayah juga. Ayah yang telah membuat aku terlahir ke dunia. Ayah yang telah membantu kehidupanku hingga besar. Ayah yang telah menyekolahkanku agar aku pintar. Do’a yang ayah lantunkan seiring pertumbuhanku---doa yang hanya terdengar oleh Ia dan malaikat-Nya. Dan berbagai hal yang telah ayah ajarkan padaku, tanpa aku menyadarinya.
Ayah, sungguhpun aku tak mengerti sedikit pun tentang ayah, aku tak pernah membenci ayah. Walaupun kini ayah telah menjalani hidup baru dengan keluarga lain yang ayah sayangi, aku tak pernah membenci ayah. Bagiku, tak ada istilah mantan ayah. Karena bagaimanapun keadaannya, ayah tetap ayahku. Selamanya.

0 komentar:

Posting Komentar