0 komentar

Wajah Kebangkitan Indonesia: Antara Islam dan Pergerakan Nasional

Abad 19 merupakan abad terpenting dalam sejarah kebangkitan Indonesia. Pada abad tersebut, didirikan berbagai organisasi bertajuk pergerakan dan nasionalisme yang memperjuangkan kebebasan Indonesia dari belenggu penjajahan. Kolonialisme yang telah dilakukan oleh para penjajah tidak hanya menimbulkan dampak negatif, namun juga berdampak positif bagi pergerakan dan masa depan bangsa, yaitu lahirnya nasionalisme kaum terpelajar sebagai salah satu tonggak pergerakan nasional. Perasaan sebangsa dan setanah-air lah yang membuat para kaum terpelajar beserta para tokoh pergerakan lainnya melakukan berbagai upaya demi mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Salah satu tokoh pergerakan nasional, Haji Samanhudi, pada tahun 1911 mendirikan sebuah organisasi yang berkedudukan di Solo, Jawa Tengah. Awalnya, organisasi yang diberi nama Sarekat Dagang Islam (SDI) ini hanya beranggotakan para pengusaha batik di Solo. Namun, pada November 1912, nama organisasi ini diganti menjadi Sarekat Islam (SI) yang diketuai oleh Haji Oemar Said, sedangkan Haji Samanhudi berkedudukan sebagai ketua kehormatan. Pergantian nama ini bertujuan agar keanggotaan SI menjadi lebih luas dan terbuka. Dilihat dari namanya yang mengandung kata “Islam”, dapat diketahui bahwa salah satu tujuan dasar pembentukan organisasi ini adalah untuk hal-hal yang behubungan dengan Islam, yaitu untuk menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang agama tersebut.

Islamisme, sebagai sebuah aliran keislaman yang tokoh-tokohnya sudah bermunculan di awal kebangkitan Indonesia, turut mewarnai perjuangan dan langkah pergerakan yang dilakukan oleh Sarekat Islam. Tokoh-tokoh dalam organisasi ini, seperti Haji Samanhudi, merupakan pembesar yang menganut agama Islam. Sarekat Islam merupakan organisasi Islam berjiwa nasionalisme yang pertama kali didirikan di Indonesia. Antara tahun 1970—1920 perkembangan organisasi ini meningkat tajam. Pengaruh politiknya menyebar luas dan sangat mewarnai wajah perpoliikan Indonesia. Hal inilah yang memicu keinginan menyimpang dari beberapa tokoh SI, seperti Semaun dan Darsono. Kedua tokoh tersebut menganut  paham Marxisme yang diketahui merupakan anggota organisasi ISDV yang mengandung ajaran komunis. Masuknya ajaran marxis ke dalam tubuh SI menimbulkan perpecahan antara pendukung Islamisme dan Marxisme. Hal ini memicu lahirnya kebijakan baru bertajuk “disiplin partai” yang melarang anggota SI memiliki keanggotaan ganda dalam organisasi. Golongan marxis akhirnya bisa didepak keluar berkat kebijakan ini. Sebagian besar anggota SI menginginkan pergerakan SI lebih bersifat keagamaan daripada politik. Dalam kondisi ini, SI memutuskan untuk bekerja sama dengan pemerintah kolonial lalu mengganti namanya menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Pada tahun 1930, bersamaan dengan meningkatnya semangat nasionalisme Indonesia setelah Sumpah Pemuda, PSI berganti nama lagi menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) yang diketuai oleh Haji Agus Salim.

0 komentar

Wajah Kebangkitan Indonesia: Antara Islam dan Pergerakan Nasional

Abad 19 merupakan abad terpenting dalam sejarah kebangkitan Indonesia. Pada abad tersebut, didirikan berbagai organisasi bertajuk pergerakan dan nasionalisme yang memperjuangkan kebebasan Indonesia dari belenggu penjajahan. Kolonialisme yang telah dilakukan oleh para penjajah tidak hanya menimbulkan dampak negatif, namun juga berdampak positif bagi pergerakan dan masa depan bangsa, yaitu lahirnya nasionalisme kaum terpelajar sebagai salah satu tonggak pergerakan nasional. Perasaan sebangsa dan setanah-air lah yang membuat para kaum terpelajar beserta para tokoh pergerakan lainnya melakukan berbagai upaya demi mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Salah satu tokoh pergerakan nasional, Haji Samanhudi, pada tahun 1911 mendirikan sebuah organisasi yang berkedudukan di Solo, Jawa Tengah. Awalnya, organisasi yang diberi nama Sarekat Dagang Islam (SDI) ini hanya beranggotakan para pengusaha batik di Solo. Namun, pada November 1912, nama organisasi ini diganti menjadi Sarekat Islam (SI) yang diketuai oleh Haji Oemar Said, sedangkan Haji Samanhudi berkedudukan sebagai ketua kehormatan. Pergantian nama ini bertujuan agar keanggotaan SI menjadi lebih luas dan terbuka. Dilihat dari namanya yang mengandung kata “Islam”, dapat diketahui bahwa salah satu tujuan dasar pembentukan organisasi ini adalah untuk hal-hal yang behubungan dengan Islam, yaitu untuk menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang agama tersebut.

Islamisme, sebagai sebuah aliran keislaman yang tokoh-tokohnya sudah bermunculan di awal kebangkitan Indonesia, turut mewarnai perjuangan dan langkah pergerakan yang dilakukan oleh Sarekat Islam. Tokoh-tokoh dalam organisasi ini, seperti Haji Samanhudi, merupakan pembesar yang menganut agama Islam. Sarekat Islam merupakan organisasi Islam berjiwa nasionalisme yang pertama kali didirikan di Indonesia. Antara tahun 1970—1920 perkembangan organisasi ini meningkat tajam. Pengaruh politiknya menyebar luas dan sangat mewarnai wajah perpoliikan Indonesia. Hal inilah yang memicu keinginan menyimpang dari beberapa tokoh SI, seperti Semaun dan Darsono. Kedua tokoh tersebut menganut  paham Marxisme yang diketahui merupakan anggota organisasi ISDV yang mengandung ajaran komunis. Masuknya ajaran marxis ke dalam tubuh SI menimbulkan perpecahan antara pendukung Islamisme dan Marxisme. Hal ini memicu lahirnya kebijakan baru bertajuk “disiplin partai” yang melarang anggota SI memiliki keanggotaan ganda dalam organisasi. Golongan marxis akhirnya bisa didepak keluar berkat kebijakan ini. Sebagian besar anggota SI menginginkan pergerakan SI lebih bersifat keagamaan daripada politik. Dalam kondisi ini, SI memutuskan untuk bekerja sama dengan pemerintah kolonial lalu mengganti namanya menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Pada tahun 1930, bersamaan dengan meningkatnya semangat nasionalisme Indonesia setelah Sumpah Pemuda, PSI berganti nama lagi menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) yang diketuai oleh Haji Agus Salim.

0 komentar

Warna-warni Ideologi dalam Kancah Pergerakan Indonesia

1 April 2012, Indonesia dalam kerlap-kerlip cahaya kemerdekaan. Bebas. Jakarta yang ramai, penduduk hiruk-pikuk. Indonesia dalam upaya pembangunan. Kemiskinan, kelaparan, demo di mana-mana, itulah beberapa masalah yang kini ‘merengek’ minta diselesaikan. Sekarang, coba kita lihat ke belakang, jauh sebelum kebebasan berkedaulatan kita dapat.  Tinggalkan seluruh kemerlap ini, masalah-masalah ini. Coba kita tengok sejenak perjuangan dan langkah demi langkah yang dirintis para pejuang. Organisasi, ideologi-ideologi, semua yang mewarnai sejarah kebangkitan nasional di abad 19.  Mari telusuri sedikit warna itu. Kembali ke masa lalu.

Abad 19.

Pan Islamisme dan Nasionalisme, dua paham yang berkembang dalam tubuh Sarekat Islam (SI). Sebuah organisasi yang berdiri di Solo, tahun 1911 ini sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Dari namanya yang berunsur ‘Islam’, kita dapat mengetahui campur tangan paham Islamisme dalam pergerakan SI. Semangat  yang terkandung dalam gerakan Pan-Islamisme telah membangkitkan rasa kebangsaan yang kuat dengan didasari ikatan keagamaan. Pan-Islamisme sendiri merupakan suatu paham yang bertujuan mempersatukan umat Islam sedunia. Paham ini telah merasuk ke dalam beberapa tokoh pergerakan nasional dan mendorong munculnya beberapa organisasi seperti SI.

1927, sebuah organisasi bertajuk nasionalisme, telah berdiri di Indonesia. Partai Nasional Indonesia (PNI), begitulah organisasi ini disebut. PNI sebagai suatu partai yang berideologi nasionalis mempunyai tujuan untuk memperjuangkan kehidupan bangsa Indonesia yang bebas.Cita-cita politiknya yaitu mencapai Indonesia merdeka dan berdaulat.

Ideologi komunisme diperkenalkan kali pertama oleh Sneevliet, seorang pegawai perkereta-apian yang berkebangsaan Belanda. Ideologi komunisme ini diwujudkan dalam pembentukan organisasi yang bemama Indische Social Democratis The Vereeniging (ISDV). Pada tahun 1926, sebuah partai komunis dirintis di Indonesia dengan nama PKI (Partai Komunis Indonesia). Pergerakannya sangat radikal. Organisasi ini dilarang pemerintah Belanda pada tahun 1927.

Masih banyak lagi warna-warna itu. Mungkin lain waktu saja kita kembali menengok warna-warna itu. Sekarang, bagaimana kita bisa melanjutkan warna-warna itu, bagaimana kita membuat goresan warna terang yang baru, itulah hal yang harus kita pikirkan. Sejarah adalah pelajaran, bukan hanya menghitung masa, lalu terlupakan. Bukan hanya sekilas memori, lalu diabaikan. Sejarah adalah bagaimana kita mengambil pelajaran dari lubang yang terbentuk, agar tak jatuh lagi ke lubang yang sama. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.